Sunday, November 23, 2008

Signifikansi Fatwa

Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak dan semakin kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat. Permasalahan yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya tidak serumit yang kita alami sekarang, di sisi lain Allah telah mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Sebagaimana firman Allah:
اليوم اكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah puas Islam menjadi agamamu”
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari menjelang meninggalnya Rasulullah, Allah telah mencukupkan ketentuan-ketentuan yang telah diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasulullah yang berupa hadits untuk memecahkan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah. Islam sebagai agama terakhir dan Muhammad sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal dunia bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.
Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan berat yang dipikul oleh umat Islam, khusus mereka yang memiliki titel sebagai Alim Ulama. Ulama atau mujtahid atau mufti memiliki tugas untuk mengurai ayat-ayat Alquran dan hadits. Dalam mengurai hadits tidak hanya secara tekstual, tidak hanya dengan memahami asbab al-wurud dan asbab al-nuzul, tetapi dia harus bisa mekontekstualkan ayat dan hadits tersebut dengan kondisi sekarang sebagai pengejawantahan hadits al-islam shalih li kulli zaman wa makan.
Di samping itu, ulama memiliki tanggung jawab untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang dahulunya tugas dan tanggung jawab ini diemban oleh Nabi, namun ketika Nabi tidak ada, tugas dan tanggung jawab tersebut beralih kepada para ulama yang meneruskan dan menggantikan posisi Nabi ini dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat atas permasalahan yang mereka hadapi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لا يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العمل
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu”

Yahya ibn syaraf Nawawi menjelaskan bahwa ulama yang menjadi pewaris nabi ini, termasuk di dalamnya adalah mufti. Mufti menjadi pewaris para nabi, karena dia bertanggung jawab untuk memberikan jawaban dan memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan memberikan fatwa adalah pekerjaan penting dan banyak keutamaannya, namun mengandung bahaya yang besar.[1] Bahaya yang ditimbulkan adalah apabila mufti memberikan fatwa yang salah, sehingga timbul pertentangan, tidak menjadikan masyarakat aman, tetapi malah memperkeruh permasalahan di masyarakat.
Mengingat beratnya resiko yang ditanggung dalam pekerjaan memberikan fatwa, maka banyak informasi atau atsar yang menyatakan keengganan para ulama salaf untuk memberikan fatwa, meskipun mereka memiliki kapabilitas di bidang itu. Keengganan mereka didasarkan kepada kaidah fikih:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil manfaatnya”
Diriwayatkan dari Abd al-Rahman ibn Abi Layla:
أدركت عشرين ومئة من الأنصار من أصحاب رسول الله صم. يسأل أحدهم عن المسألة، فيردها هذا إلى هذا, وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول
“Saya menemui 120 orang Anshar sahabat Rasulullah, salah seorang di antara mereka bertanya kepada yang lain mengenai suatu permasalahan, seoarang yang ditanya tersebut menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain, orang lain tersebut juga menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain dan seterusnya hingga pertanyaan tersebut kembali kepada orang pertama yang ditanya”.

Ada banyak riwayat dengan nada yang hampir sama dari para sahabat Nabi yaitu keengganan untuk memberikan fatwa, karena fatwa memiliki resiko yang berat di samping keagungannya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa:
من أفتى فى كل ما يسأل فهو مجنو
“Barang siapa yang memberikan fatwa dari setiap permasalahan yang dimintakan fatwa kepadanya, maka dia adalah orang gila”

Sementara dari kalangan imam madzhab diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah ditanya mengenai suatu permasalahan, dia tidak langsung menjawab, tetapi dia mengatakan:
حتى أدري أن الفضل فى السكوت أو فى الجواب
“Hingga saya tahu mana yang terbaik, apakah diam atau menjawabnya”
Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal lebih sering menjawab: Lâ Adri (Saya tidak tahu) ketika ditanya mengenai suatu permasalahan. Diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah ditanya 40 permasalahan, namun dari jumlah tersebut yang dijawab hanya delapan pertanyaan saja, 32 pertanyaan yang lain tidak dijawabnya. Dari Imam Malik juga diriwayatkan bahwa dia pernah ditanya 50 permasalahan. Dia tidak menjawab satu permasalahan pun, dia mengatakan:
من أجاب فى مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار, وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barang siapa menjawab suatu permintaan fatwa, maka hendaknya sebelum menjawab menyodorkan dirinya, apakah di surga atau neraka, setelah selesai maka dia boleh menjawab”

Mayoritas ulama, baik pada masa Nabi maupun pada masa Imam Madzhab, tidak berkenan untuk mengobral fatwa, mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Ketika dia mengeluarkan fatwa berarti telah memposisikan dirinya seperti Syâri‘ yang dipegang oleh Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Syariat yang dilegislasikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin menimbulkan pertentangan di antara umat manusia, karena syariat dilegislasikan untuk kesejahteraan manusia, baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat. Fatwa seharusnya bisa seperti syariat, namun kenyataannya ?.
Pekerjaan fatwa adalah pekerjaan memahami, mengurai, dan menafsirkan kembali Alquran dan hadits dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi sekarang. Selain dia harus memahami Alquran dan Hadits, dia harus peka dengan konteks dan perkembangan ilmu yang menjadi disiplin dari permasalahan fatwa tersebut. Selain itu dia harus orang yang memiliki kapabilitas untuk menyampaikan fatwa. Oleh karena itu, mengingat tingginya kedudukan seorang mufti, maka posisinya harus didukung oleh orang yang kuatAl-Khathib, sebagaimana yang dikemukakan al-Nawawi mengatakan bahwa orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa harus ditentukan dan diajukan oleh orang lain yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak mau memberikan fatwa hingga ada 70 orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa memintanya untuk memberikan fatwa. Imam Malik menambahkan bahwa tidak selayaknya seseorang menganggap dirinya sendiri memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa, sebelum dia bertanya kepada orang yang lebih pandai daripada dirinya dalam urusan fatwa.

Syarat Mufti
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa diangkat sebagai mufti. Al-Nawawi menyebutkan bahwa persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mukallaf
2. Muslim
3. Berkepribadian kuat
4. Dapat dipercaya
5. Suci dari sifat-sifat tercela
6. Berjiwa kuat
7. Berotak cemerlang
8. Berpikiran tajam
9. Bisa melakukan istinbath hukum
10. Sehat jasmani dan rohani
Al-Nawawi menambahkan bahwa untuk bisa diangkat menjadi mufti tidak hanya dimonopoli oleh golongan yang berjenis kelamin laki-laki saja, tetapi orang perempun bisa juga menjadi mufti, demikian juga orang yang cacat, seperti buta atau tuli asalkan dia memahami tulisan atau isyarat yang disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai mufti.[2]

Macam-Macam Mufti
Abu Umar ibn al-Shalâh, sebagaimana dikutip al-Nawawi mengatakan bahwa Mufti ada dua macam: mufti mustaqil dan mufti ghair mustaqil.
A. Mufti Mustaqil memiliki persyaratan:
1. Mengetahui dengan pasti dalil hukum dari Kitab, sunnah, ijma’, qiyas dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
2. Mengetahui syarat-syarat dalil dan wujûh dilâlahnya, dan bagaimana mengambil hukum darinya sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh.
3. Mengetahui Ilmu Alquran, Hadits, Nasih dan Mansuh, Nahwu, bahasa, dan tashrif serta perbedaan ulama di dalamnya.
4. Mengetahui Fiqh, baik masalah ushuliyah maupun masalah furu’iyyah.
Orang yang memiliki kualifikasi yang demikian ini, berarti maka dia dapat dikategorikan sebagai al-mufti al-muthlaq al-mustaqil yang keberadaannya merupakan fardlu kifayah. Dia disebut juga dengan al-mujtahid al-muthlaq al-mustaqil, karena dia bisa melakukan istinbath hukum sendiri tanpa bersandar kepada madzhab tertentu.
Mengenai mengetahui fikih atau menghafalnya, menurut Abu Umar tidak perlu, karena hal tersebut tidak menjadi persyaratan bagi seseorang untuk mendapat titel sebagai mujtahid. Fikih merupakan buah dari ijtihad, bukan menjadi syarat. Buah tidak bisa berada di depan, tetapi adanya di belakang sebagai hasil ijtihad.
Apakah seorang mufti mustaqil disyaratkan mengetahui disiplin ilmu tertentu sesuai dengan bidang fatwa? Misalnya apakah dia harus mengetahui matematika atau ilmu hitung ketika materi fatwa berkenaan dengan masalah yeng membutuhkan perhitungan seperti masalah warisan, penghitungan zakat dan lain sebagainya? Menurut Abu Ishak dan Abu Manshur pengetahuan tersebut menjadi syarat yang harus dimiliki oleh mufti tersebut.

B. Mufti Ghairu Mustaqil atau al-mufti al-muntasib
Untuk menjadi mufti mustaqil memang memerlukan persyaratan-persyaratan berat yang harus dipenuhi. Tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi sebagai mufti mustaqil ini. Namun demikian, mengingat permasalahan umat terus menerus bertambah dan semakin komplek, maka keberadaan mufti harus ada untuk memecahkah permasalahan tersebut. Mengingat mufti mustaqil tidak ada, maka kualifikasinya turun menjadi mufti ghairu mustaqil atau disebut juga dengan mufti muntasib. Mufti muntasib ini menurut imam Nawawi ada empat kondisi, yaitu:
1. Orang yang tidak taqlid kepada imamnya dalam madzhab dan dalilnya, namun dia mengikuti metodenya dalam berijtihad.
2. Orang yang mendapat titel mujtahid muqayyad kepada madzhab imamnya. Dia bertkalid kepada imamnya dalam dalil dan kaidah ushuliyahnya.
3. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, dia mengetahui dalil-dalil dan alsan-alasan dalam menetapkan hukum, dan dia bisa menilai hukum imam madzhabnya tersebut.
4. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, namun dia tidak bisa menguraikan dalil yang digunakan dan metode qiyas yang digunakan dalam menetapkan hukum.
[1] Abi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti, wa al-Mustafti, Damaskus: Dar al-Fikr, 1988, h. 13
[2] Ibid h. 19

0 comments: