Sunday, November 23, 2008

Signifikansi Fatwa

Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak dan semakin kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat. Permasalahan yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya tidak serumit yang kita alami sekarang, di sisi lain Allah telah mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Sebagaimana firman Allah:
اليوم اكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah puas Islam menjadi agamamu”
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari menjelang meninggalnya Rasulullah, Allah telah mencukupkan ketentuan-ketentuan yang telah diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasulullah yang berupa hadits untuk memecahkan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah. Islam sebagai agama terakhir dan Muhammad sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal dunia bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.
Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan berat yang dipikul oleh umat Islam, khusus mereka yang memiliki titel sebagai Alim Ulama. Ulama atau mujtahid atau mufti memiliki tugas untuk mengurai ayat-ayat Alquran dan hadits. Dalam mengurai hadits tidak hanya secara tekstual, tidak hanya dengan memahami asbab al-wurud dan asbab al-nuzul, tetapi dia harus bisa mekontekstualkan ayat dan hadits tersebut dengan kondisi sekarang sebagai pengejawantahan hadits al-islam shalih li kulli zaman wa makan.
Di samping itu, ulama memiliki tanggung jawab untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang dahulunya tugas dan tanggung jawab ini diemban oleh Nabi, namun ketika Nabi tidak ada, tugas dan tanggung jawab tersebut beralih kepada para ulama yang meneruskan dan menggantikan posisi Nabi ini dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat atas permasalahan yang mereka hadapi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لا يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العمل
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu”

Yahya ibn syaraf Nawawi menjelaskan bahwa ulama yang menjadi pewaris nabi ini, termasuk di dalamnya adalah mufti. Mufti menjadi pewaris para nabi, karena dia bertanggung jawab untuk memberikan jawaban dan memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan memberikan fatwa adalah pekerjaan penting dan banyak keutamaannya, namun mengandung bahaya yang besar.[1] Bahaya yang ditimbulkan adalah apabila mufti memberikan fatwa yang salah, sehingga timbul pertentangan, tidak menjadikan masyarakat aman, tetapi malah memperkeruh permasalahan di masyarakat.
Mengingat beratnya resiko yang ditanggung dalam pekerjaan memberikan fatwa, maka banyak informasi atau atsar yang menyatakan keengganan para ulama salaf untuk memberikan fatwa, meskipun mereka memiliki kapabilitas di bidang itu. Keengganan mereka didasarkan kepada kaidah fikih:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil manfaatnya”
Diriwayatkan dari Abd al-Rahman ibn Abi Layla:
أدركت عشرين ومئة من الأنصار من أصحاب رسول الله صم. يسأل أحدهم عن المسألة، فيردها هذا إلى هذا, وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول
“Saya menemui 120 orang Anshar sahabat Rasulullah, salah seorang di antara mereka bertanya kepada yang lain mengenai suatu permasalahan, seoarang yang ditanya tersebut menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain, orang lain tersebut juga menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain dan seterusnya hingga pertanyaan tersebut kembali kepada orang pertama yang ditanya”.

Ada banyak riwayat dengan nada yang hampir sama dari para sahabat Nabi yaitu keengganan untuk memberikan fatwa, karena fatwa memiliki resiko yang berat di samping keagungannya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa:
من أفتى فى كل ما يسأل فهو مجنو
“Barang siapa yang memberikan fatwa dari setiap permasalahan yang dimintakan fatwa kepadanya, maka dia adalah orang gila”

Sementara dari kalangan imam madzhab diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah ditanya mengenai suatu permasalahan, dia tidak langsung menjawab, tetapi dia mengatakan:
حتى أدري أن الفضل فى السكوت أو فى الجواب
“Hingga saya tahu mana yang terbaik, apakah diam atau menjawabnya”
Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal lebih sering menjawab: Lâ Adri (Saya tidak tahu) ketika ditanya mengenai suatu permasalahan. Diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah ditanya 40 permasalahan, namun dari jumlah tersebut yang dijawab hanya delapan pertanyaan saja, 32 pertanyaan yang lain tidak dijawabnya. Dari Imam Malik juga diriwayatkan bahwa dia pernah ditanya 50 permasalahan. Dia tidak menjawab satu permasalahan pun, dia mengatakan:
من أجاب فى مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار, وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barang siapa menjawab suatu permintaan fatwa, maka hendaknya sebelum menjawab menyodorkan dirinya, apakah di surga atau neraka, setelah selesai maka dia boleh menjawab”

Mayoritas ulama, baik pada masa Nabi maupun pada masa Imam Madzhab, tidak berkenan untuk mengobral fatwa, mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Ketika dia mengeluarkan fatwa berarti telah memposisikan dirinya seperti Syâri‘ yang dipegang oleh Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Syariat yang dilegislasikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin menimbulkan pertentangan di antara umat manusia, karena syariat dilegislasikan untuk kesejahteraan manusia, baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat. Fatwa seharusnya bisa seperti syariat, namun kenyataannya ?.
Pekerjaan fatwa adalah pekerjaan memahami, mengurai, dan menafsirkan kembali Alquran dan hadits dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi sekarang. Selain dia harus memahami Alquran dan Hadits, dia harus peka dengan konteks dan perkembangan ilmu yang menjadi disiplin dari permasalahan fatwa tersebut. Selain itu dia harus orang yang memiliki kapabilitas untuk menyampaikan fatwa. Oleh karena itu, mengingat tingginya kedudukan seorang mufti, maka posisinya harus didukung oleh orang yang kuatAl-Khathib, sebagaimana yang dikemukakan al-Nawawi mengatakan bahwa orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa harus ditentukan dan diajukan oleh orang lain yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak mau memberikan fatwa hingga ada 70 orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa memintanya untuk memberikan fatwa. Imam Malik menambahkan bahwa tidak selayaknya seseorang menganggap dirinya sendiri memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa, sebelum dia bertanya kepada orang yang lebih pandai daripada dirinya dalam urusan fatwa.

Syarat Mufti
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa diangkat sebagai mufti. Al-Nawawi menyebutkan bahwa persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mukallaf
2. Muslim
3. Berkepribadian kuat
4. Dapat dipercaya
5. Suci dari sifat-sifat tercela
6. Berjiwa kuat
7. Berotak cemerlang
8. Berpikiran tajam
9. Bisa melakukan istinbath hukum
10. Sehat jasmani dan rohani
Al-Nawawi menambahkan bahwa untuk bisa diangkat menjadi mufti tidak hanya dimonopoli oleh golongan yang berjenis kelamin laki-laki saja, tetapi orang perempun bisa juga menjadi mufti, demikian juga orang yang cacat, seperti buta atau tuli asalkan dia memahami tulisan atau isyarat yang disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai mufti.[2]

Macam-Macam Mufti
Abu Umar ibn al-Shalâh, sebagaimana dikutip al-Nawawi mengatakan bahwa Mufti ada dua macam: mufti mustaqil dan mufti ghair mustaqil.
A. Mufti Mustaqil memiliki persyaratan:
1. Mengetahui dengan pasti dalil hukum dari Kitab, sunnah, ijma’, qiyas dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
2. Mengetahui syarat-syarat dalil dan wujûh dilâlahnya, dan bagaimana mengambil hukum darinya sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh.
3. Mengetahui Ilmu Alquran, Hadits, Nasih dan Mansuh, Nahwu, bahasa, dan tashrif serta perbedaan ulama di dalamnya.
4. Mengetahui Fiqh, baik masalah ushuliyah maupun masalah furu’iyyah.
Orang yang memiliki kualifikasi yang demikian ini, berarti maka dia dapat dikategorikan sebagai al-mufti al-muthlaq al-mustaqil yang keberadaannya merupakan fardlu kifayah. Dia disebut juga dengan al-mujtahid al-muthlaq al-mustaqil, karena dia bisa melakukan istinbath hukum sendiri tanpa bersandar kepada madzhab tertentu.
Mengenai mengetahui fikih atau menghafalnya, menurut Abu Umar tidak perlu, karena hal tersebut tidak menjadi persyaratan bagi seseorang untuk mendapat titel sebagai mujtahid. Fikih merupakan buah dari ijtihad, bukan menjadi syarat. Buah tidak bisa berada di depan, tetapi adanya di belakang sebagai hasil ijtihad.
Apakah seorang mufti mustaqil disyaratkan mengetahui disiplin ilmu tertentu sesuai dengan bidang fatwa? Misalnya apakah dia harus mengetahui matematika atau ilmu hitung ketika materi fatwa berkenaan dengan masalah yeng membutuhkan perhitungan seperti masalah warisan, penghitungan zakat dan lain sebagainya? Menurut Abu Ishak dan Abu Manshur pengetahuan tersebut menjadi syarat yang harus dimiliki oleh mufti tersebut.

B. Mufti Ghairu Mustaqil atau al-mufti al-muntasib
Untuk menjadi mufti mustaqil memang memerlukan persyaratan-persyaratan berat yang harus dipenuhi. Tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi sebagai mufti mustaqil ini. Namun demikian, mengingat permasalahan umat terus menerus bertambah dan semakin komplek, maka keberadaan mufti harus ada untuk memecahkah permasalahan tersebut. Mengingat mufti mustaqil tidak ada, maka kualifikasinya turun menjadi mufti ghairu mustaqil atau disebut juga dengan mufti muntasib. Mufti muntasib ini menurut imam Nawawi ada empat kondisi, yaitu:
1. Orang yang tidak taqlid kepada imamnya dalam madzhab dan dalilnya, namun dia mengikuti metodenya dalam berijtihad.
2. Orang yang mendapat titel mujtahid muqayyad kepada madzhab imamnya. Dia bertkalid kepada imamnya dalam dalil dan kaidah ushuliyahnya.
3. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, dia mengetahui dalil-dalil dan alsan-alasan dalam menetapkan hukum, dan dia bisa menilai hukum imam madzhabnya tersebut.
4. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, namun dia tidak bisa menguraikan dalil yang digunakan dan metode qiyas yang digunakan dalam menetapkan hukum.
[1] Abi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti, wa al-Mustafti, Damaskus: Dar al-Fikr, 1988, h. 13
[2] Ibid h. 19

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA

A. Latar Belakang
Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.[1]
Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional.
Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga peran politik.

B. Berdirinya MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari.
Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam, tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk menderikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena: a) Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam, dan b) Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.
Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.
Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim.[2] Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar [3]
C. Urgensi Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.
Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.
Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat.

D. Metode Penetapan Fatwa
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.[4]

Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi:
Pasal 3

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.

Pasal 4

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa.

Pasal 5
1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.

Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.[5]

E. Fenomena di Lapangan
Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten. Dalam pengamatan Atho Mudzhar, ada fatwa yang langsung merujuk kepada hadits, tanpa meninjau ayat al-Qur’an, ada pula fatwa yang langsung merujuk kepada kitab fikih, tanpa melihat kepada sumber yang lain, dan ada juga fatwa yang tidak memberikan dasar dan argument sama sekali, namun langsung menyebut dictum fatwa tersebut, sebagaimana kebolehan memutar film The Message karena tidak memperlihatkan wajah Nabi Muhammad.[6] Padahal banyak hadits yang berisi larangan untuk melukis wajah Rasulullah, namun dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut hadits ini tidak ditampilkan. Fatwa mengenai kehalalan daging kelinci juga tidak dilakukan menurut dasar dan prosedur yang benar, SKF ini hanya menampilkan hadits yang ada di kitab Nail al-Authar, tanpa menyebutkan keumuman ayat.
Berdasarkan kajiannya terhadap fatwa MUI antara tahun 1975 – 1988 atau dari 22 fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI, Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa kebanyakan fatwa MUI didasarkan kepada qiyas, karena qiyas memang ampuh untuk memecahkan permasalahn baru yang belum ada nashnya di dalam al-Qur’an dan Hadits. Namun, dalam pandangannya penerapan qiyas tidak tepat, seperti adanya ketidaksamaan illat antara maqis fih dan maqis alaih. Seperti keputusan MUI mengenai kebolehan membudidayakan kodok yang diqiyaskan dengan menyamak kulit. Ketidaktepatan tersebut adalah karena pembudidayaan kodok adalah untuk dimakan, sementara penyamakan kulit hanya untuk dipakai saja. Padahal menurut Atho Mudzhar, pembudidayaan kodok atau makan daging kodok lebih tepat apabila diqiyaskan dengan pembudidayaan dan memakan kepiting.[7]
Dalam menetapkan hukum pembudidayaan kodok, yang tujuan akhirnya adalah dimakan, maka perlu diputuskan dahulu mengenai kehalalan kodok tersebut. Memakan daging kodok adalah diharamkan menurut mazhab Syafi’i, namun diperbolehkan menurut mazhab Maliki. Faktanya MUI menghalalkan pembudidayaan kodok, namun mengharamkan untuk memakannya. Pembudidayaan kodok diperbolehkan untuk mengambil manfaatnya, namun tetap tidak boleh dimakan.[8] Permasalahannya mengapa MUI tidak langsung mengambil pendapatnya Imam Malik yang membolehkan memakan daging kodok, yang berarti juga boleh membudidayakannya, baik diambil manfaatnya maupun untuk dimakan.
MUI dalam prakteknya juga mendasarkan kepada madzhab yang berada di luar mainstream madzhab yang berada di Indonesia ketika MUI mengambil pendapat madzhab Zahiri dalam menetapkan keharusan musafir untuk melaksanakan shalat Jum’at.
[1] Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990, hal. 92
[2] http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami tanggal 6 Nopember 2008
[3] Ibid
[4] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5
[5] Ibid, hal. 7
[6] H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134
[7] Ibid, hal. 135
[8] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan…., hal. 207-208