Monday, April 27, 2009

ALQUR’AN DAN PERUBAHAN

ALQUR'AN DAN PERUBAHAN
PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR

Oleh: Zaenul Mahmudi

A. Pendahuluan
Syariat, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama; untuk mengajarkan tauhid, menegakkan agama, keadilan, dan merubah tradisi-tradisi masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Namun dalam tataran aplikatifnya, syariat yang diberikan kepada para nabi berbeda-beda, disesuaikan dengan adat dan kebiasaan ketika mereka diutus oleh Allah untuk membimbing para umatnya. Tentunya, perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak mengubah prinsip syariat itu sendiri, melainkan sebatas ornamental yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika seorang nabi diutus Allah.
Apabila diperhatikan, maka di dalam syariat-syariat tersebut terdapat prinsip perkembangan (tathawwur) dari syariat pertama hingga syariat terakhir dan terdapat prinsip fleksibilitas (murûnah) yang akomodatif dengan kondisi masa dan sosial budaya setempat. Terhadap adat kebiasaan, pada satu sisi, syariat berperan menjustifikasinya ketika berkesesuaian dengan prinsip syariat dan di sisi lain membatalkannya ketika adat kebiasaan tersebut bertentangan dengan prinsip syariat dan meluruskannya dengan memberi baju syir'ah bagi adat kebiasaan yang masih dapat ditolerir. Dalam terminologi ushûl al-fiqh, akomodasi terhadap aturan-aturan syariat para nabi sebelumnya disebut dengan syar'u man qablanâ.
Dalam pensyariatannya, Alqur'an sangat memperhatikan budaya masyarakat di mana Alqur'an turun karena Alqur'an merupakan hasil komunikasi antara Tuhan dengan penerima pertama (Muhammad) dan sasaran pembicaraan (bangsa Arab) pada waktu itu. Ajaran Alqur'an merupakan model of reality yang mengadopsi budaya masyarakat dan model for reality yang berperan melakukan formatisasi budaya yang diidealkan dengan mengubah situasi sosial dan budaya yang telah ada, formatisasi budaya ini tidak dilakukan secara langsung oleh Allah melalui Alqur'an, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya.

B. Bangunan Pemikiran Muhammad Syahrur
1. Riwayat Hidup
Dr. Ir. Muhammad Syahrur (untuk selanjutnya disebut Syahrur) merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syria, dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1938. Syahrur mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya ia rampungkan pada tahun 1957 dan segera setelah menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Suviet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa pemerintah setempat. Di negara inilah, Syahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran marxisme, sungguhpun ia tidak mendakwa sebagai penganut aliran tersebut. Namun demikian, ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel -terutama dialektika-nya-dan Alfred North Whitehead. Gelar diploma dalam bidang tersebut, ia raih pada tahun 1964.
Setelah meraih gelar diploma, tahun 1964, Syahrur kembali ke Syria untuk mengabdikan dirinya sebagai dosen pada Fakultas Teknik di Universitas Damaskus. Dan, pada tahun yang bersamaan, Syahrur melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di Ireland National University, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Syahrur berhak untuk melakukan penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu, terjadilah perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya hubungan diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal tersebut tidak menghambatnya untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat kembali ke Dublin untuk menyelesaikan program Master dan Doktor-nya di bidang mekanika pertanahan (soil mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering). Gelar Doktor-nya ia peroleh pada tahun 1972. Syahrur secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus hingga sekarang.
Selain sebagai dosen, Syahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun 1982-1983, Syahrur dikirim pihak universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Syahrur membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/dar al-Istisyârat al-Handasiyah) di Damaskus.

2. Kegelisahan Akademik
Pada awal abad ke-19, merupakan titik awal kebangkitan di dunia Arab. Keinginan kuat untuk bangkit yang oleh Arkoun disebut dengan ledakan modernitas ini ditandai oleh kesadaran diri dunia Arab atas kelemahannya vis a vis Barat yang telah mengalami kebangkitan dan kemajuan teknologi dan intelektual. Kesadaran untuk melakukan introspeksi diri terhadap kesalahan yang mereka lakukan selama ini dan berusaha mengembalikan kejayaan Islam yang pernah diraih pada masa awal Dinasti Abbasiyah yang sering disebut dengan "The Golden Age of Islam".
Krisis di dunia Arab berawal pada abad pertengahan akibat hilangnya ruang berfikir kritis dan kejumudan yang melanda pola pikir bangsa Arab sejaka masa kejayaan Islam diraih dan setelah formulasi dan kodifikasi fikih para ulama mazhab dilakukan. Mereka merasa diri mereka masih jaya seperti dahulu padahal kondisi sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka masih beranggapan bahwa formulasi dan kodifikasi fikih yang dihasilkan ketika dunia Islam menjadi negara terkuat dan negara adidaya masih tetap baik dan valid untuk menyelesaikan problematika yang terjadi di masa sekarang.
Dalam kajian keislaman, Syahrur merasa gelisah terhadap krisis metodologis yang melanda dunia Arab, yaitu: (a) tidak ada metode penelitian ilmiah yang obyektif dalam kajian nash yang diwahyukan kepada Muhammad, (b) kajian-kajian keislaman yang ada sering bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan yang pada gilirannya terjebak dalam kungkungan subyektivitas, (c) tidak memanfaatkan filsafat humaniora, karena masih ada kecurigaan terhadap pemikiran filsafat Yunani sebagai filsafat yang keliru dan sesat, (d) tidak ada epistimologi Islam yang valid yang akhinya berdampak kepada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad silam.
Di sisi lain, invasi Mongol ke Baghdad dan kemudian belanjut dengan ekspedisi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir, membuat dunia Arab kehilangan instrumen untuk bangkit. Dunia Arab menjadi lemah secara intelektual dan teknologi yang membuat dunia Arab mengalami krisis yang demikian akut. Kegelisahan ini mendorong tokoh-tokoh yang konsern terhadap kebangkitan Islam untuk melakukan perenungan guna mencarikan jalan keluar bagi kegelisahan yang mereka alami.
Syahrur melihat bahwa instrumen kebangkitan Islam adalah melalui semangan Alqur'an, namun sayang, hingga sekarang pemahaman umat Islam terhadap Alqur'an masih dimonopoli oleh pemahaman para ulama-ulama klasik yang kondisi kehidupannya jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Menurutnya Alqur'an merupakan dalil yang madlûlnya untuk dunia sekarang tidak jelas. Ia telah kehilangan konteksnya karena konteks yang dikemukakan para ulama ketika menjelaskan makna Alqur'an masih menggunakan konteks masa lalu yang sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang.
Sementara ini, Alqur'an masih menjadi milik orang-orang Arab, padahal Alqur'an tidak diturunkan untuk orang-orang Mekkah dan Madinah, melainkan untuk orang-orang Montreal, Paris, Tokyo dan lain sebagainya. Alqur'an tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup pada abad ke-7 saja, melainkan pada abad ke-10, 20, dan abad ke-90, namun realitanya, pemahaman Alqur'an masih menggunakan paradigma pemikiran Mekkkah dan Madinah pada abad yang ketujuah, sehingga Alqur'an kehilangan kesesuaian dengan konteks sekarang.
Dalam masalah ini, kemudian timbul berbagai pertanyaan yang mengganggu pikiran Syahrur; di mana kita harus mencari Islam dan bagaimana cara menemukannya? Di al-Azhâr, Zaitûnah, dan al-Najaf al-Asyraf ataukah di Mekkah, Qum, Baghdad, dan Quds? Apakah untuk menemukannya, kita menggunakan cara pandang Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Ja'far Shadiq atau dengan menggunakan cara pandang kita sendiri yang disesuaikan dengan konteks sekarang? Apakah kita mencari Islam di dalam kita-kitab atau dalam realitas sosial? Kalau dalam realitas sosial, pertanyaannya realitas sosial abad ke-7 atau realitas sosial abad ke-20?

3. Kerangka Teori
Krisis yang melanda Dunia Arab di atas, mendorong Syahrur untuk melakukan kontemplasi secara mendalam bagaimana mengatasi krisis yang berkepanjangan tersebut. Sebagai seorang muslim yang taat, Syahrur mendasarkan kerangka teorinya kepada keyakinannya bahwa:
1. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah penutup bagi Islam yang diberikan kepada para nabi, sejak Nabi Nuh dan selesai hingga Nabi Muhammd, di mana kita tidak membedakan satu sama lainnya.
2. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah penutup, dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba Allah, nabi dan rasul-Nya. Tidak ada nabi dan rasul sepeninggalnya.
3. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah yang diturunkan untuk seluruh manusia yang ada di muka bumi, baik yang berkulit hitam, merah, cokelat maupun yang lain.
4. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah yang diperuntukkan untuk semua bangsa yang ada di muka bumi, tidak ada perbedaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.
5. al-Risâlah al-Muhammadiyah, sebagai risalah penutup, merupakan risalah yang diperuntukkan untuk semua masa setelah diturunkannya hingga hari akhir nanti. Ia bukan risalah yang diperuntukkan bagi abad ketujuh, tetapi juga untuk abad keduapuluh dan seterusnya.
Keyakinannya yang sangat mendalam terhadap risâlah al-Muhammadiyah di atas membuat Syahrur sangat yakin akan kebenaran Alqur'an. Di sisi lain, dia yakin bahwa Alqur'an merupakan pedoman dan ajaran yang berpengaruh besar bagi kehidupan masyarakat di dunia Islam. Syahrur berpendapat bahwa pencarian Islam harus dimulai dan bertitik tolak dari pemahaman terhadap kitab Allah dan dengan memahami secara benar proses turunnya Alqur'an. Syahrur merasa yakin bahwa Muslim modern, dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan dengan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (Alqur'an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Kedua alasan ini mendorong Syahrur untuk mendalami dan melakukan dekonstruksi pemahaman terhadap Alqur'an melalui pendekatan linguistik.
Metode linguistik tersebut diperoleh Syahrur setelah bertemu dengan koleganya di Universitas Damaskus, Dr. Ja'far Dik al-Bab yang telah menekuni linguistik di Universitas Moskow. Pergaulannya dengan Ja'far ini membuat Syahrur mengenal para pemikir linguis Arab, Abu al-Farra', Abu Ali al-Farisi, al-Jinni, dan al-Jurjani. Dari pembacaan dan pengkajian terhadap pemikiran para tokoh linguis ini membawa Syahrur kepada tesis bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa ('adam al-tarâduf fi al-lughah) termasuk di dalam Alqur'an yang menggunakan Bahasa Arab. Setiap kata dalam Bahasa Arab membawa makna spesifik yang dapat dirunut melalui konteks turunnya ayat (asbâb al-nuzûl).
Metode linguistik ini mendorong Syahrur untuk mendalami dan mengkaji Alqur'an melalui pendekatan teks yang tentu saja berbeda dengan pemahaman fundamentalis Islam yang mendekati secara tekstualis dengan satu pemahaman sesuai pemahaman ulama klasik tertentu. Hal ini dilakukan Syahrur untuk menolak monopoli pemahaman terhadap Alqur'an oleh ulama klasik tertentu yang kemudian diklaim kebenarannya oleh ulama sekarang. Syahrur menilai bahwa pemahaman terhadap Alqur'an versi ulama klasik tersebut sudah tidak sesuai dengan pemahaman sekarang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi karena penemuan-penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi mutakhir yang terbukti dapat memperjelas makna Alqur'an yang berkenaan dengan ilmu alam dan ilmu sosial.
Syahrur berpandangan bahwa Alqur'an tidak terpengaruh dengan waktu, yang terpengaruh dengan waktu adalah pemahaman terhadapnya. Pemahaman Nabi, para sahabat, dan para khalifah terhadap Alqur'an dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, ketika kita membaca dan memahami Alqur'an harus disesuaikan dengan informasi ilmiah yang telah kita dapatkan dan disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang pesat pada akhir-akhir ini. Syahrur menyarankan agar kita memahami Alqur'an, seakan-akan wahyu Allah tersebut baru diturunkan ke dunia kemarin dan Nabi baru saja meninggal dunia agar konteks Alqur'an bisa menyentuh permasalahan-permasalahan kemasyarakatan sekarang ini. Untuk memahami teks Alqur'an, kita perlu menganalisis teksnya sesuai dengan ilmu yang kita kuasai dan sesuai dengan kemajuan teknologi, bukan berdasarkan informasi dari para ulama fikih yang dalam memahami Alqur'an juga disesuaikan dengan kondisi keilmuan dan masyarakat pada waktu itu.

4. Model Pendekatan
a. Konsep Pendekatan yang Digunakan
Guna menjawab problematika Islam dalam konstelasi global ini Syahrur menggunakan pendekatan linguistik-filosofis dengan menggunakan konsep "kainûnah", "sairûrah", dan "shairûrah" yang diusung untuk memahami realitas sosial dan fenomena alam yang senantiasa berubah, bahkan untuk memahami hal-hal yang gaib, termasuk hari Kiamat dan Tuhan.
Kainûnah (being) merupakan wujud awal atau pertama yang senantiasa berubah melalui sebuah proses yang memakan waktu yang disebut sairûrah (process). Wujud awal tersebut berproses menjadi sesuatu yang lain yang disebut shairûrah. Ketiga konsep tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan kuat antara satu dengan yang lain. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini "tunduk" kepada ketiga konsep tersebut. Firman Allah yang menyebutkan:
كل شيئ هالك إلا وجهه (القصص: 88) dan كل نفس ذائقة الموت (آل عمران: 185)
merupakan firman Allah yang mendukung keterkaitan tersebut. Kata syai' dan nafs merupakan kata yang melambangkan kainûnah, sementara halakah (kehancuran) dan maut (kematian) merupakan shairûrah yang dilalui melalui proses yang memakan waktu menuju kedua shairûrah tersebut.
Kainûnah dan sairûrah merupakan wujud asal yang terdiri dari elemen-elemen yang menyusunnya dan melewati sejarah, sementara shairûrah merupakan hasil perubahan dan perkembangan dari wujud asal tersebut. Proses kejadian alam membuktikan masalah ini. Setelah terjadi ledakan kosmos, maka kemudian muncul futûnat yang kemudian berubah menjadi hidrogen. Hidrogen ini selanjutnya berubah menjadi helium yang kemudian berubah menjadi unsur-unsur utama yang menyatu menjadi wujud-wujud organis dan nonorganis, yang kemudian menjadi wujud kehidupan yang paling sederhana hingga berupa manusia yang ada di muka bumi ini. Proses yang terjadi pada kainûnah dan sairûrah untuk menjadi shairûrah tersebut berlangsung tanpa henti. Proses yang terjadi pada ketiga konsep tersebut akan berhenti setelah hari kiamat tiba.
Ketiga konsep tersebut bisa dipisahkan satu sama lainnya, tetapi keterpisahan tersebut tidak terjadi pada dunia nyata ini. Keterpisahan ketiga konsep tersebut hanya mungkin terjadi pada hari Kiamat nanti. Kainûnah dan shairûrah tanpa adanya sairûrah, terdapat dalam penggambaran surga dan neraka yang abadi, sebagaimana firman Allah:
فأما الذين سقوا ففى النار لهم فيها زفير وشهيق . خالدين فيها ما دامت السموات والأرض إلا ماشاء ربك (هود: 106و 107)
Neraka dalam ayat ini digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat abadi, tidak ada gambaran mengenai neraka tersebut hendak jadi apa, sehingga yang ada hanya kainûnah dan sairûrah. Konsep yang ketiga, sairûrah hanya melekat pada realitas kehidupan manusia dan fenomena alam, kecuali pada cahaya, walaupun dalam temuan modern cahaya juga memerlukan waktu (proses), meskipun seperribu-ribu detik.
Konsep kainûnah dan sairûrah yang bersatu, tanpa ada shairûrah adalah wujud yang statis, tanpa ada perkembangan dan perubahan. Wujud ini tidak memiliki tujuan atau finalitas (ghâiyyah). Konsep ini akan menafikan adanya Hari Kiamat sebagai sebagai tujuan kehidupan di dunia dan ini jelas bertentangan dengan nash Alqur'an, sementara konsep sairûrah dan shairûrah adalah sejalan dengan hukum pertentangan (qânûn al-nafy) dalam zat sesuatu, yaitu hukum yang mengatakan zat sesuatu dan bukan zat sesuatu dalam waktu yang bersamaan. Hukum pertentangan ini adalah hukum yang tersimpan di balik tujuan (shairûrah) seperti bahwa dalam ledakan kosmos sebagaimana yang dikemukakan di atas adalah menegasikan zat (sesuatu) yang ada sebelumnya. Hari Kiamat dan Hari Kebangkitan merupakan peristiwa yang menegasikan kehidupan dunia.
Apabila ketiga konsep tersebut diterapkan pada Allah, maka kita harus memandang Allah dalam dua perspektif; Allah dalam perspektif Dzat-Nya dan Allah dalam perspektif kita. Bila dilihat dari perspektif Dzat, Allah adalah kainûnah saja. Dia tidak "tunduk" kepada dua konsep yang lain sairûrah dan shairûrah, karena Allah adalah abadi, azali, dan sarmadi. Kita tidak mungkin mengetahui Allah melalui Dzat-Nya, tetapi kita bisa mengetahui Allah melalui asmâ' al-Husna-Nya yang memang diperuntukkan kepada hamba-hamba-Nya. Asmâ' al-Husna ini memunculkan konsep rubûbiyyah dan ulûhiyyah yang dipahami manusia dalam menemukan Tuhannya.

b. Konsep Kainûnah, Sairûrah dan Shairûrah Dalam Masyarakat
Masyarakat manusia dipersatukan oleh bubungan kesadaran (consciousness relationship) antarmanusia yang membentuk masyarakat tersebut. Dalam masyarakat ini yang disebut kainûnah adalah manusia yang berbudaya. Sairûrah dalam masyarakat ini adalah proses sejarah yang dialami manusia. Dan shairûrahnya adalah perkembangan dan perubahan yang melekat dan terjadi pada manusia dan masyarakat tersebut. Ketika membicarakan masyarakat manusia ini, maka titik tolak yang merupakan kainûnahnya adalah manusia yang berbudaya yaitu Adam. Dalam kajian ini, maka Adam merupakan bapak manusia dan bapak sejarah, dan selanjutnya mulailah kedua konsep yang lain; sairûrah dan shairûrah berjalan seiring dengan bapak manusia dan bapak sejarah tersebut hingga sekarang dan akan berlangsung hingga Hari Kiamat tiba. Jika kainûnah dihilangkan, maka tidak ada manusia, yang ada adalah binatang dan sejarah akan kembali ke belakang. Sementara konsep sairûrah tidak mungkin dihilangkan, karena sairûrah adalah zaman dan zaman ada di luar kehendak kita.
Dalam konsep shairûrah terdapat permasalahan besar yang menjadi tanggung jawab manusia. Konsep shairûrah ini memberikan kesempatan yang besar kepada manusia untuk berkehendak dan berkreasi dalam mengatur dunia, kesempatan untuk menentukan merah hijaunya dunia. Konsep shairûrah mengharuskan manusia untuk melakukan pengembangan dan perubahan masyarakat, sementara konsep sairûrah, sebagai proses gerak perubahan, memberikan peran kepada manusia untuk mempercepat dan memperlambat gerak perubahan tersebut.
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang memiliki dan menerapkan ketiga konsep filosofis tersebut sekaligus. Masyarakat yang menerapkan konsep shairûrah adalah masyarakat yang terus-menerus berubah menuju masyarakat yang maju dan lebih baik. Masyarakat yang hanya memiliki dua konsep; kainûnah dan sairûrah adalah masyarakat statis yang tidak memiliki tujuan, dalam masyarakat ini tidak ada perubahan sama sekali. Masyarakat yang statis dan tidak berubah hanya ada pada masyarakat setelah hari Kiamat tiba, masyarakat yang ada di surga dan neraka. Masyarakat yang ada di muka bumi ini harus memberlakukan ketiga konsep tersebut, sehingga masyarakat yang hanya menerapkan konsep kainûnah dan sairûrah saja adalah masyarakat yang menyalahi nature-nya.
Negara-negara Arab, menurut pandangan Syahrur adalah masyarakat statis yang hanya memiliki dan menerapkan dua konsep; kainûnah dan sairûrah. Konsep kainûnah secara faktual ada, karena masyarakat Arab memang ada dan konsep sairûrah juga ada, karena secara historis masyarakat Arab ada dan berproses seiring dengan zaman. Sementara yang menjadi pertanyaan adalah konsep shairûrah. Konsep ini tidak ada pada masyarakat Arab. Mereka tidak memiliki tujuan dalam hidup di dunia, sehingga mereka menjadi masyarakat yang lemah dan rendah. Mereka tidak melakukan perubahan pada masyarkatnya. Mereka tidak menciptakan hal-hal yang baru, tetapi hanya menghabiskan hasil-hasil dari perkembangan kebudayaan lain.

5. Contribution to Knowledge
Wacana pemikiran Syahrur ini merupakan wacana yang masih relatif baru di dunia Islam. Dalam pemikirannya Syahrur berusaha tidak terjebak sebagaimana kebanyakan Muslim di dunia, khsususnya Arab, kepada pemikiran yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. Usaha ini dilakukan Syahrur dengan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pisau analisis dalam memahami Islam, khususnya Alqur'an, karena dia yakin bahwa muslim yang hidup pada abad sekarang mempunyai perangkat metodologis yang lebih baik ketimbang ulama klasik dalam memahami Islam dan Alqur'an.
Pemikiran-pemikiran yang diusung Syahrur ini telah membuka cakrawala dan pemikiran baru di dunia Islam. Terobosan yang dia lakukan telah membawa secercah harapan setelah sekian lama dunia Islam dilanda kejumudan dalam pemikiran. Banyak para pemikir muslim maupun non-Muslim yang melakukan kritik dan otokritis terhadap pemikiran Islam yang lemah secara metodologis, namun sedikit di antara mereka yang menawarkan konsep-konsep metodologis dalam kajian keislaman, dan Muhammad Syahrur adalah termasuk yang sedikit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

'Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî'ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ (tt.: Maktabah al-Wahdah al-Arabiyyah al-Dâr al-Baydhâ', tth.), h. 20
Bassam Tibi, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change, (Penterjemah dari Bahasa German: Clare Krojzl), (Boulder, San Francisco, & Oxford: Westview Press, 1991), Cet. ke-2
Khiron Nahdliyin, "Pengantar Penerjemah" dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, Kritik Terhadap Ulumul Qura'an, (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. ke-2
Muhammad Syahrur, Nahw Ushûl al-Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi; Fiqh al-Mar'ah, (Damaskus: al-Ahâli li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî', 2000)
Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân; Qirâ'ah Mu'âshirah, (Damaskus: al-Ahâli li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî', 2000)
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=315
www.islamemansipatoris.com
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=315
www.wluml.org/english/ "The Sharur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syiria.

Sunday, November 23, 2008

Signifikansi Fatwa

Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak dan semakin kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat. Permasalahan yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya tidak serumit yang kita alami sekarang, di sisi lain Allah telah mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Sebagaimana firman Allah:
اليوم اكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah puas Islam menjadi agamamu”
Ayat ini menunjukkan bahwa pada hari menjelang meninggalnya Rasulullah, Allah telah mencukupkan ketentuan-ketentuan yang telah diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasulullah yang berupa hadits untuk memecahkan permasalahan yang terjadi pada masa Rasulullah. Islam sebagai agama terakhir dan Muhammad sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal dunia bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.
Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan berat yang dipikul oleh umat Islam, khusus mereka yang memiliki titel sebagai Alim Ulama. Ulama atau mujtahid atau mufti memiliki tugas untuk mengurai ayat-ayat Alquran dan hadits. Dalam mengurai hadits tidak hanya secara tekstual, tidak hanya dengan memahami asbab al-wurud dan asbab al-nuzul, tetapi dia harus bisa mekontekstualkan ayat dan hadits tersebut dengan kondisi sekarang sebagai pengejawantahan hadits al-islam shalih li kulli zaman wa makan.
Di samping itu, ulama memiliki tanggung jawab untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang dahulunya tugas dan tanggung jawab ini diemban oleh Nabi, namun ketika Nabi tidak ada, tugas dan tanggung jawab tersebut beralih kepada para ulama yang meneruskan dan menggantikan posisi Nabi ini dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat atas permasalahan yang mereka hadapi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لا يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العمل
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu”

Yahya ibn syaraf Nawawi menjelaskan bahwa ulama yang menjadi pewaris nabi ini, termasuk di dalamnya adalah mufti. Mufti menjadi pewaris para nabi, karena dia bertanggung jawab untuk memberikan jawaban dan memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan memberikan fatwa adalah pekerjaan penting dan banyak keutamaannya, namun mengandung bahaya yang besar.[1] Bahaya yang ditimbulkan adalah apabila mufti memberikan fatwa yang salah, sehingga timbul pertentangan, tidak menjadikan masyarakat aman, tetapi malah memperkeruh permasalahan di masyarakat.
Mengingat beratnya resiko yang ditanggung dalam pekerjaan memberikan fatwa, maka banyak informasi atau atsar yang menyatakan keengganan para ulama salaf untuk memberikan fatwa, meskipun mereka memiliki kapabilitas di bidang itu. Keengganan mereka didasarkan kepada kaidah fikih:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil manfaatnya”
Diriwayatkan dari Abd al-Rahman ibn Abi Layla:
أدركت عشرين ومئة من الأنصار من أصحاب رسول الله صم. يسأل أحدهم عن المسألة، فيردها هذا إلى هذا, وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول
“Saya menemui 120 orang Anshar sahabat Rasulullah, salah seorang di antara mereka bertanya kepada yang lain mengenai suatu permasalahan, seoarang yang ditanya tersebut menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain, orang lain tersebut juga menolak dan melemparkan pertanyaan tersebut kepada orang lain dan seterusnya hingga pertanyaan tersebut kembali kepada orang pertama yang ditanya”.

Ada banyak riwayat dengan nada yang hampir sama dari para sahabat Nabi yaitu keengganan untuk memberikan fatwa, karena fatwa memiliki resiko yang berat di samping keagungannya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa:
من أفتى فى كل ما يسأل فهو مجنو
“Barang siapa yang memberikan fatwa dari setiap permasalahan yang dimintakan fatwa kepadanya, maka dia adalah orang gila”

Sementara dari kalangan imam madzhab diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah ditanya mengenai suatu permasalahan, dia tidak langsung menjawab, tetapi dia mengatakan:
حتى أدري أن الفضل فى السكوت أو فى الجواب
“Hingga saya tahu mana yang terbaik, apakah diam atau menjawabnya”
Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal lebih sering menjawab: Lâ Adri (Saya tidak tahu) ketika ditanya mengenai suatu permasalahan. Diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah ditanya 40 permasalahan, namun dari jumlah tersebut yang dijawab hanya delapan pertanyaan saja, 32 pertanyaan yang lain tidak dijawabnya. Dari Imam Malik juga diriwayatkan bahwa dia pernah ditanya 50 permasalahan. Dia tidak menjawab satu permasalahan pun, dia mengatakan:
من أجاب فى مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار, وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barang siapa menjawab suatu permintaan fatwa, maka hendaknya sebelum menjawab menyodorkan dirinya, apakah di surga atau neraka, setelah selesai maka dia boleh menjawab”

Mayoritas ulama, baik pada masa Nabi maupun pada masa Imam Madzhab, tidak berkenan untuk mengobral fatwa, mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Ketika dia mengeluarkan fatwa berarti telah memposisikan dirinya seperti Syâri‘ yang dipegang oleh Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Syariat yang dilegislasikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin menimbulkan pertentangan di antara umat manusia, karena syariat dilegislasikan untuk kesejahteraan manusia, baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat. Fatwa seharusnya bisa seperti syariat, namun kenyataannya ?.
Pekerjaan fatwa adalah pekerjaan memahami, mengurai, dan menafsirkan kembali Alquran dan hadits dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi sekarang. Selain dia harus memahami Alquran dan Hadits, dia harus peka dengan konteks dan perkembangan ilmu yang menjadi disiplin dari permasalahan fatwa tersebut. Selain itu dia harus orang yang memiliki kapabilitas untuk menyampaikan fatwa. Oleh karena itu, mengingat tingginya kedudukan seorang mufti, maka posisinya harus didukung oleh orang yang kuatAl-Khathib, sebagaimana yang dikemukakan al-Nawawi mengatakan bahwa orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa harus ditentukan dan diajukan oleh orang lain yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak mau memberikan fatwa hingga ada 70 orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa memintanya untuk memberikan fatwa. Imam Malik menambahkan bahwa tidak selayaknya seseorang menganggap dirinya sendiri memiliki kapabilitas untuk memberikan fatwa, sebelum dia bertanya kepada orang yang lebih pandai daripada dirinya dalam urusan fatwa.

Syarat Mufti
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa diangkat sebagai mufti. Al-Nawawi menyebutkan bahwa persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mukallaf
2. Muslim
3. Berkepribadian kuat
4. Dapat dipercaya
5. Suci dari sifat-sifat tercela
6. Berjiwa kuat
7. Berotak cemerlang
8. Berpikiran tajam
9. Bisa melakukan istinbath hukum
10. Sehat jasmani dan rohani
Al-Nawawi menambahkan bahwa untuk bisa diangkat menjadi mufti tidak hanya dimonopoli oleh golongan yang berjenis kelamin laki-laki saja, tetapi orang perempun bisa juga menjadi mufti, demikian juga orang yang cacat, seperti buta atau tuli asalkan dia memahami tulisan atau isyarat yang disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai mufti.[2]

Macam-Macam Mufti
Abu Umar ibn al-Shalâh, sebagaimana dikutip al-Nawawi mengatakan bahwa Mufti ada dua macam: mufti mustaqil dan mufti ghair mustaqil.
A. Mufti Mustaqil memiliki persyaratan:
1. Mengetahui dengan pasti dalil hukum dari Kitab, sunnah, ijma’, qiyas dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
2. Mengetahui syarat-syarat dalil dan wujûh dilâlahnya, dan bagaimana mengambil hukum darinya sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh.
3. Mengetahui Ilmu Alquran, Hadits, Nasih dan Mansuh, Nahwu, bahasa, dan tashrif serta perbedaan ulama di dalamnya.
4. Mengetahui Fiqh, baik masalah ushuliyah maupun masalah furu’iyyah.
Orang yang memiliki kualifikasi yang demikian ini, berarti maka dia dapat dikategorikan sebagai al-mufti al-muthlaq al-mustaqil yang keberadaannya merupakan fardlu kifayah. Dia disebut juga dengan al-mujtahid al-muthlaq al-mustaqil, karena dia bisa melakukan istinbath hukum sendiri tanpa bersandar kepada madzhab tertentu.
Mengenai mengetahui fikih atau menghafalnya, menurut Abu Umar tidak perlu, karena hal tersebut tidak menjadi persyaratan bagi seseorang untuk mendapat titel sebagai mujtahid. Fikih merupakan buah dari ijtihad, bukan menjadi syarat. Buah tidak bisa berada di depan, tetapi adanya di belakang sebagai hasil ijtihad.
Apakah seorang mufti mustaqil disyaratkan mengetahui disiplin ilmu tertentu sesuai dengan bidang fatwa? Misalnya apakah dia harus mengetahui matematika atau ilmu hitung ketika materi fatwa berkenaan dengan masalah yeng membutuhkan perhitungan seperti masalah warisan, penghitungan zakat dan lain sebagainya? Menurut Abu Ishak dan Abu Manshur pengetahuan tersebut menjadi syarat yang harus dimiliki oleh mufti tersebut.

B. Mufti Ghairu Mustaqil atau al-mufti al-muntasib
Untuk menjadi mufti mustaqil memang memerlukan persyaratan-persyaratan berat yang harus dipenuhi. Tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi sebagai mufti mustaqil ini. Namun demikian, mengingat permasalahan umat terus menerus bertambah dan semakin komplek, maka keberadaan mufti harus ada untuk memecahkah permasalahan tersebut. Mengingat mufti mustaqil tidak ada, maka kualifikasinya turun menjadi mufti ghairu mustaqil atau disebut juga dengan mufti muntasib. Mufti muntasib ini menurut imam Nawawi ada empat kondisi, yaitu:
1. Orang yang tidak taqlid kepada imamnya dalam madzhab dan dalilnya, namun dia mengikuti metodenya dalam berijtihad.
2. Orang yang mendapat titel mujtahid muqayyad kepada madzhab imamnya. Dia bertkalid kepada imamnya dalam dalil dan kaidah ushuliyahnya.
3. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, dia mengetahui dalil-dalil dan alsan-alasan dalam menetapkan hukum, dan dia bisa menilai hukum imam madzhabnya tersebut.
4. Orang yang hafal dan memahami madzhab imamnya, namun dia tidak bisa menguraikan dalil yang digunakan dan metode qiyas yang digunakan dalam menetapkan hukum.
[1] Abi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti, wa al-Mustafti, Damaskus: Dar al-Fikr, 1988, h. 13
[2] Ibid h. 19

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA

A. Latar Belakang
Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.[1]
Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional.
Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga peran politik.

B. Berdirinya MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari.
Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam, tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk menderikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena: a) Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam, dan b) Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.
Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.
Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim.[2] Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar [3]
C. Urgensi Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.
Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.
Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat.

D. Metode Penetapan Fatwa
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.[4]

Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi:
Pasal 3

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.

Pasal 4

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa.

Pasal 5
1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.

Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.[5]

E. Fenomena di Lapangan
Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten. Dalam pengamatan Atho Mudzhar, ada fatwa yang langsung merujuk kepada hadits, tanpa meninjau ayat al-Qur’an, ada pula fatwa yang langsung merujuk kepada kitab fikih, tanpa melihat kepada sumber yang lain, dan ada juga fatwa yang tidak memberikan dasar dan argument sama sekali, namun langsung menyebut dictum fatwa tersebut, sebagaimana kebolehan memutar film The Message karena tidak memperlihatkan wajah Nabi Muhammad.[6] Padahal banyak hadits yang berisi larangan untuk melukis wajah Rasulullah, namun dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut hadits ini tidak ditampilkan. Fatwa mengenai kehalalan daging kelinci juga tidak dilakukan menurut dasar dan prosedur yang benar, SKF ini hanya menampilkan hadits yang ada di kitab Nail al-Authar, tanpa menyebutkan keumuman ayat.
Berdasarkan kajiannya terhadap fatwa MUI antara tahun 1975 – 1988 atau dari 22 fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI, Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa kebanyakan fatwa MUI didasarkan kepada qiyas, karena qiyas memang ampuh untuk memecahkan permasalahn baru yang belum ada nashnya di dalam al-Qur’an dan Hadits. Namun, dalam pandangannya penerapan qiyas tidak tepat, seperti adanya ketidaksamaan illat antara maqis fih dan maqis alaih. Seperti keputusan MUI mengenai kebolehan membudidayakan kodok yang diqiyaskan dengan menyamak kulit. Ketidaktepatan tersebut adalah karena pembudidayaan kodok adalah untuk dimakan, sementara penyamakan kulit hanya untuk dipakai saja. Padahal menurut Atho Mudzhar, pembudidayaan kodok atau makan daging kodok lebih tepat apabila diqiyaskan dengan pembudidayaan dan memakan kepiting.[7]
Dalam menetapkan hukum pembudidayaan kodok, yang tujuan akhirnya adalah dimakan, maka perlu diputuskan dahulu mengenai kehalalan kodok tersebut. Memakan daging kodok adalah diharamkan menurut mazhab Syafi’i, namun diperbolehkan menurut mazhab Maliki. Faktanya MUI menghalalkan pembudidayaan kodok, namun mengharamkan untuk memakannya. Pembudidayaan kodok diperbolehkan untuk mengambil manfaatnya, namun tetap tidak boleh dimakan.[8] Permasalahannya mengapa MUI tidak langsung mengambil pendapatnya Imam Malik yang membolehkan memakan daging kodok, yang berarti juga boleh membudidayakannya, baik diambil manfaatnya maupun untuk dimakan.
MUI dalam prakteknya juga mendasarkan kepada madzhab yang berada di luar mainstream madzhab yang berada di Indonesia ketika MUI mengambil pendapat madzhab Zahiri dalam menetapkan keharusan musafir untuk melaksanakan shalat Jum’at.
[1] Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990, hal. 92
[2] http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami tanggal 6 Nopember 2008
[3] Ibid
[4] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5
[5] Ibid, hal. 7
[6] H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134
[7] Ibid, hal. 135
[8] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan…., hal. 207-208