Monday, April 27, 2009

ALQUR’AN DAN PERUBAHAN

ALQUR'AN DAN PERUBAHAN
PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR

Oleh: Zaenul Mahmudi

A. Pendahuluan
Syariat, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama; untuk mengajarkan tauhid, menegakkan agama, keadilan, dan merubah tradisi-tradisi masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Namun dalam tataran aplikatifnya, syariat yang diberikan kepada para nabi berbeda-beda, disesuaikan dengan adat dan kebiasaan ketika mereka diutus oleh Allah untuk membimbing para umatnya. Tentunya, perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak mengubah prinsip syariat itu sendiri, melainkan sebatas ornamental yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika seorang nabi diutus Allah.
Apabila diperhatikan, maka di dalam syariat-syariat tersebut terdapat prinsip perkembangan (tathawwur) dari syariat pertama hingga syariat terakhir dan terdapat prinsip fleksibilitas (murûnah) yang akomodatif dengan kondisi masa dan sosial budaya setempat. Terhadap adat kebiasaan, pada satu sisi, syariat berperan menjustifikasinya ketika berkesesuaian dengan prinsip syariat dan di sisi lain membatalkannya ketika adat kebiasaan tersebut bertentangan dengan prinsip syariat dan meluruskannya dengan memberi baju syir'ah bagi adat kebiasaan yang masih dapat ditolerir. Dalam terminologi ushûl al-fiqh, akomodasi terhadap aturan-aturan syariat para nabi sebelumnya disebut dengan syar'u man qablanâ.
Dalam pensyariatannya, Alqur'an sangat memperhatikan budaya masyarakat di mana Alqur'an turun karena Alqur'an merupakan hasil komunikasi antara Tuhan dengan penerima pertama (Muhammad) dan sasaran pembicaraan (bangsa Arab) pada waktu itu. Ajaran Alqur'an merupakan model of reality yang mengadopsi budaya masyarakat dan model for reality yang berperan melakukan formatisasi budaya yang diidealkan dengan mengubah situasi sosial dan budaya yang telah ada, formatisasi budaya ini tidak dilakukan secara langsung oleh Allah melalui Alqur'an, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya.

B. Bangunan Pemikiran Muhammad Syahrur
1. Riwayat Hidup
Dr. Ir. Muhammad Syahrur (untuk selanjutnya disebut Syahrur) merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syria, dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1938. Syahrur mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya ia rampungkan pada tahun 1957 dan segera setelah menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Suviet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa pemerintah setempat. Di negara inilah, Syahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran marxisme, sungguhpun ia tidak mendakwa sebagai penganut aliran tersebut. Namun demikian, ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel -terutama dialektika-nya-dan Alfred North Whitehead. Gelar diploma dalam bidang tersebut, ia raih pada tahun 1964.
Setelah meraih gelar diploma, tahun 1964, Syahrur kembali ke Syria untuk mengabdikan dirinya sebagai dosen pada Fakultas Teknik di Universitas Damaskus. Dan, pada tahun yang bersamaan, Syahrur melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di Ireland National University, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Syahrur berhak untuk melakukan penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu, terjadilah perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya hubungan diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal tersebut tidak menghambatnya untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat kembali ke Dublin untuk menyelesaikan program Master dan Doktor-nya di bidang mekanika pertanahan (soil mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering). Gelar Doktor-nya ia peroleh pada tahun 1972. Syahrur secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus hingga sekarang.
Selain sebagai dosen, Syahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun 1982-1983, Syahrur dikirim pihak universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Syahrur membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/dar al-Istisyârat al-Handasiyah) di Damaskus.

2. Kegelisahan Akademik
Pada awal abad ke-19, merupakan titik awal kebangkitan di dunia Arab. Keinginan kuat untuk bangkit yang oleh Arkoun disebut dengan ledakan modernitas ini ditandai oleh kesadaran diri dunia Arab atas kelemahannya vis a vis Barat yang telah mengalami kebangkitan dan kemajuan teknologi dan intelektual. Kesadaran untuk melakukan introspeksi diri terhadap kesalahan yang mereka lakukan selama ini dan berusaha mengembalikan kejayaan Islam yang pernah diraih pada masa awal Dinasti Abbasiyah yang sering disebut dengan "The Golden Age of Islam".
Krisis di dunia Arab berawal pada abad pertengahan akibat hilangnya ruang berfikir kritis dan kejumudan yang melanda pola pikir bangsa Arab sejaka masa kejayaan Islam diraih dan setelah formulasi dan kodifikasi fikih para ulama mazhab dilakukan. Mereka merasa diri mereka masih jaya seperti dahulu padahal kondisi sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka masih beranggapan bahwa formulasi dan kodifikasi fikih yang dihasilkan ketika dunia Islam menjadi negara terkuat dan negara adidaya masih tetap baik dan valid untuk menyelesaikan problematika yang terjadi di masa sekarang.
Dalam kajian keislaman, Syahrur merasa gelisah terhadap krisis metodologis yang melanda dunia Arab, yaitu: (a) tidak ada metode penelitian ilmiah yang obyektif dalam kajian nash yang diwahyukan kepada Muhammad, (b) kajian-kajian keislaman yang ada sering bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan yang pada gilirannya terjebak dalam kungkungan subyektivitas, (c) tidak memanfaatkan filsafat humaniora, karena masih ada kecurigaan terhadap pemikiran filsafat Yunani sebagai filsafat yang keliru dan sesat, (d) tidak ada epistimologi Islam yang valid yang akhinya berdampak kepada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad silam.
Di sisi lain, invasi Mongol ke Baghdad dan kemudian belanjut dengan ekspedisi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir, membuat dunia Arab kehilangan instrumen untuk bangkit. Dunia Arab menjadi lemah secara intelektual dan teknologi yang membuat dunia Arab mengalami krisis yang demikian akut. Kegelisahan ini mendorong tokoh-tokoh yang konsern terhadap kebangkitan Islam untuk melakukan perenungan guna mencarikan jalan keluar bagi kegelisahan yang mereka alami.
Syahrur melihat bahwa instrumen kebangkitan Islam adalah melalui semangan Alqur'an, namun sayang, hingga sekarang pemahaman umat Islam terhadap Alqur'an masih dimonopoli oleh pemahaman para ulama-ulama klasik yang kondisi kehidupannya jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Menurutnya Alqur'an merupakan dalil yang madlûlnya untuk dunia sekarang tidak jelas. Ia telah kehilangan konteksnya karena konteks yang dikemukakan para ulama ketika menjelaskan makna Alqur'an masih menggunakan konteks masa lalu yang sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang.
Sementara ini, Alqur'an masih menjadi milik orang-orang Arab, padahal Alqur'an tidak diturunkan untuk orang-orang Mekkah dan Madinah, melainkan untuk orang-orang Montreal, Paris, Tokyo dan lain sebagainya. Alqur'an tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup pada abad ke-7 saja, melainkan pada abad ke-10, 20, dan abad ke-90, namun realitanya, pemahaman Alqur'an masih menggunakan paradigma pemikiran Mekkkah dan Madinah pada abad yang ketujuah, sehingga Alqur'an kehilangan kesesuaian dengan konteks sekarang.
Dalam masalah ini, kemudian timbul berbagai pertanyaan yang mengganggu pikiran Syahrur; di mana kita harus mencari Islam dan bagaimana cara menemukannya? Di al-Azhâr, Zaitûnah, dan al-Najaf al-Asyraf ataukah di Mekkah, Qum, Baghdad, dan Quds? Apakah untuk menemukannya, kita menggunakan cara pandang Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Ja'far Shadiq atau dengan menggunakan cara pandang kita sendiri yang disesuaikan dengan konteks sekarang? Apakah kita mencari Islam di dalam kita-kitab atau dalam realitas sosial? Kalau dalam realitas sosial, pertanyaannya realitas sosial abad ke-7 atau realitas sosial abad ke-20?

3. Kerangka Teori
Krisis yang melanda Dunia Arab di atas, mendorong Syahrur untuk melakukan kontemplasi secara mendalam bagaimana mengatasi krisis yang berkepanjangan tersebut. Sebagai seorang muslim yang taat, Syahrur mendasarkan kerangka teorinya kepada keyakinannya bahwa:
1. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah penutup bagi Islam yang diberikan kepada para nabi, sejak Nabi Nuh dan selesai hingga Nabi Muhammd, di mana kita tidak membedakan satu sama lainnya.
2. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah penutup, dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba Allah, nabi dan rasul-Nya. Tidak ada nabi dan rasul sepeninggalnya.
3. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah yang diturunkan untuk seluruh manusia yang ada di muka bumi, baik yang berkulit hitam, merah, cokelat maupun yang lain.
4. al-Risâlah al-Muhammadiyah adalah risalah yang diperuntukkan untuk semua bangsa yang ada di muka bumi, tidak ada perbedaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.
5. al-Risâlah al-Muhammadiyah, sebagai risalah penutup, merupakan risalah yang diperuntukkan untuk semua masa setelah diturunkannya hingga hari akhir nanti. Ia bukan risalah yang diperuntukkan bagi abad ketujuh, tetapi juga untuk abad keduapuluh dan seterusnya.
Keyakinannya yang sangat mendalam terhadap risâlah al-Muhammadiyah di atas membuat Syahrur sangat yakin akan kebenaran Alqur'an. Di sisi lain, dia yakin bahwa Alqur'an merupakan pedoman dan ajaran yang berpengaruh besar bagi kehidupan masyarakat di dunia Islam. Syahrur berpendapat bahwa pencarian Islam harus dimulai dan bertitik tolak dari pemahaman terhadap kitab Allah dan dengan memahami secara benar proses turunnya Alqur'an. Syahrur merasa yakin bahwa Muslim modern, dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan dengan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (Alqur'an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Kedua alasan ini mendorong Syahrur untuk mendalami dan melakukan dekonstruksi pemahaman terhadap Alqur'an melalui pendekatan linguistik.
Metode linguistik tersebut diperoleh Syahrur setelah bertemu dengan koleganya di Universitas Damaskus, Dr. Ja'far Dik al-Bab yang telah menekuni linguistik di Universitas Moskow. Pergaulannya dengan Ja'far ini membuat Syahrur mengenal para pemikir linguis Arab, Abu al-Farra', Abu Ali al-Farisi, al-Jinni, dan al-Jurjani. Dari pembacaan dan pengkajian terhadap pemikiran para tokoh linguis ini membawa Syahrur kepada tesis bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa ('adam al-tarâduf fi al-lughah) termasuk di dalam Alqur'an yang menggunakan Bahasa Arab. Setiap kata dalam Bahasa Arab membawa makna spesifik yang dapat dirunut melalui konteks turunnya ayat (asbâb al-nuzûl).
Metode linguistik ini mendorong Syahrur untuk mendalami dan mengkaji Alqur'an melalui pendekatan teks yang tentu saja berbeda dengan pemahaman fundamentalis Islam yang mendekati secara tekstualis dengan satu pemahaman sesuai pemahaman ulama klasik tertentu. Hal ini dilakukan Syahrur untuk menolak monopoli pemahaman terhadap Alqur'an oleh ulama klasik tertentu yang kemudian diklaim kebenarannya oleh ulama sekarang. Syahrur menilai bahwa pemahaman terhadap Alqur'an versi ulama klasik tersebut sudah tidak sesuai dengan pemahaman sekarang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi karena penemuan-penemuan ilmiah dan perkembangan teknologi mutakhir yang terbukti dapat memperjelas makna Alqur'an yang berkenaan dengan ilmu alam dan ilmu sosial.
Syahrur berpandangan bahwa Alqur'an tidak terpengaruh dengan waktu, yang terpengaruh dengan waktu adalah pemahaman terhadapnya. Pemahaman Nabi, para sahabat, dan para khalifah terhadap Alqur'an dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, ketika kita membaca dan memahami Alqur'an harus disesuaikan dengan informasi ilmiah yang telah kita dapatkan dan disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang pesat pada akhir-akhir ini. Syahrur menyarankan agar kita memahami Alqur'an, seakan-akan wahyu Allah tersebut baru diturunkan ke dunia kemarin dan Nabi baru saja meninggal dunia agar konteks Alqur'an bisa menyentuh permasalahan-permasalahan kemasyarakatan sekarang ini. Untuk memahami teks Alqur'an, kita perlu menganalisis teksnya sesuai dengan ilmu yang kita kuasai dan sesuai dengan kemajuan teknologi, bukan berdasarkan informasi dari para ulama fikih yang dalam memahami Alqur'an juga disesuaikan dengan kondisi keilmuan dan masyarakat pada waktu itu.

4. Model Pendekatan
a. Konsep Pendekatan yang Digunakan
Guna menjawab problematika Islam dalam konstelasi global ini Syahrur menggunakan pendekatan linguistik-filosofis dengan menggunakan konsep "kainûnah", "sairûrah", dan "shairûrah" yang diusung untuk memahami realitas sosial dan fenomena alam yang senantiasa berubah, bahkan untuk memahami hal-hal yang gaib, termasuk hari Kiamat dan Tuhan.
Kainûnah (being) merupakan wujud awal atau pertama yang senantiasa berubah melalui sebuah proses yang memakan waktu yang disebut sairûrah (process). Wujud awal tersebut berproses menjadi sesuatu yang lain yang disebut shairûrah. Ketiga konsep tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan kuat antara satu dengan yang lain. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini "tunduk" kepada ketiga konsep tersebut. Firman Allah yang menyebutkan:
كل شيئ هالك إلا وجهه (القصص: 88) dan كل نفس ذائقة الموت (آل عمران: 185)
merupakan firman Allah yang mendukung keterkaitan tersebut. Kata syai' dan nafs merupakan kata yang melambangkan kainûnah, sementara halakah (kehancuran) dan maut (kematian) merupakan shairûrah yang dilalui melalui proses yang memakan waktu menuju kedua shairûrah tersebut.
Kainûnah dan sairûrah merupakan wujud asal yang terdiri dari elemen-elemen yang menyusunnya dan melewati sejarah, sementara shairûrah merupakan hasil perubahan dan perkembangan dari wujud asal tersebut. Proses kejadian alam membuktikan masalah ini. Setelah terjadi ledakan kosmos, maka kemudian muncul futûnat yang kemudian berubah menjadi hidrogen. Hidrogen ini selanjutnya berubah menjadi helium yang kemudian berubah menjadi unsur-unsur utama yang menyatu menjadi wujud-wujud organis dan nonorganis, yang kemudian menjadi wujud kehidupan yang paling sederhana hingga berupa manusia yang ada di muka bumi ini. Proses yang terjadi pada kainûnah dan sairûrah untuk menjadi shairûrah tersebut berlangsung tanpa henti. Proses yang terjadi pada ketiga konsep tersebut akan berhenti setelah hari kiamat tiba.
Ketiga konsep tersebut bisa dipisahkan satu sama lainnya, tetapi keterpisahan tersebut tidak terjadi pada dunia nyata ini. Keterpisahan ketiga konsep tersebut hanya mungkin terjadi pada hari Kiamat nanti. Kainûnah dan shairûrah tanpa adanya sairûrah, terdapat dalam penggambaran surga dan neraka yang abadi, sebagaimana firman Allah:
فأما الذين سقوا ففى النار لهم فيها زفير وشهيق . خالدين فيها ما دامت السموات والأرض إلا ماشاء ربك (هود: 106و 107)
Neraka dalam ayat ini digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat abadi, tidak ada gambaran mengenai neraka tersebut hendak jadi apa, sehingga yang ada hanya kainûnah dan sairûrah. Konsep yang ketiga, sairûrah hanya melekat pada realitas kehidupan manusia dan fenomena alam, kecuali pada cahaya, walaupun dalam temuan modern cahaya juga memerlukan waktu (proses), meskipun seperribu-ribu detik.
Konsep kainûnah dan sairûrah yang bersatu, tanpa ada shairûrah adalah wujud yang statis, tanpa ada perkembangan dan perubahan. Wujud ini tidak memiliki tujuan atau finalitas (ghâiyyah). Konsep ini akan menafikan adanya Hari Kiamat sebagai sebagai tujuan kehidupan di dunia dan ini jelas bertentangan dengan nash Alqur'an, sementara konsep sairûrah dan shairûrah adalah sejalan dengan hukum pertentangan (qânûn al-nafy) dalam zat sesuatu, yaitu hukum yang mengatakan zat sesuatu dan bukan zat sesuatu dalam waktu yang bersamaan. Hukum pertentangan ini adalah hukum yang tersimpan di balik tujuan (shairûrah) seperti bahwa dalam ledakan kosmos sebagaimana yang dikemukakan di atas adalah menegasikan zat (sesuatu) yang ada sebelumnya. Hari Kiamat dan Hari Kebangkitan merupakan peristiwa yang menegasikan kehidupan dunia.
Apabila ketiga konsep tersebut diterapkan pada Allah, maka kita harus memandang Allah dalam dua perspektif; Allah dalam perspektif Dzat-Nya dan Allah dalam perspektif kita. Bila dilihat dari perspektif Dzat, Allah adalah kainûnah saja. Dia tidak "tunduk" kepada dua konsep yang lain sairûrah dan shairûrah, karena Allah adalah abadi, azali, dan sarmadi. Kita tidak mungkin mengetahui Allah melalui Dzat-Nya, tetapi kita bisa mengetahui Allah melalui asmâ' al-Husna-Nya yang memang diperuntukkan kepada hamba-hamba-Nya. Asmâ' al-Husna ini memunculkan konsep rubûbiyyah dan ulûhiyyah yang dipahami manusia dalam menemukan Tuhannya.

b. Konsep Kainûnah, Sairûrah dan Shairûrah Dalam Masyarakat
Masyarakat manusia dipersatukan oleh bubungan kesadaran (consciousness relationship) antarmanusia yang membentuk masyarakat tersebut. Dalam masyarakat ini yang disebut kainûnah adalah manusia yang berbudaya. Sairûrah dalam masyarakat ini adalah proses sejarah yang dialami manusia. Dan shairûrahnya adalah perkembangan dan perubahan yang melekat dan terjadi pada manusia dan masyarakat tersebut. Ketika membicarakan masyarakat manusia ini, maka titik tolak yang merupakan kainûnahnya adalah manusia yang berbudaya yaitu Adam. Dalam kajian ini, maka Adam merupakan bapak manusia dan bapak sejarah, dan selanjutnya mulailah kedua konsep yang lain; sairûrah dan shairûrah berjalan seiring dengan bapak manusia dan bapak sejarah tersebut hingga sekarang dan akan berlangsung hingga Hari Kiamat tiba. Jika kainûnah dihilangkan, maka tidak ada manusia, yang ada adalah binatang dan sejarah akan kembali ke belakang. Sementara konsep sairûrah tidak mungkin dihilangkan, karena sairûrah adalah zaman dan zaman ada di luar kehendak kita.
Dalam konsep shairûrah terdapat permasalahan besar yang menjadi tanggung jawab manusia. Konsep shairûrah ini memberikan kesempatan yang besar kepada manusia untuk berkehendak dan berkreasi dalam mengatur dunia, kesempatan untuk menentukan merah hijaunya dunia. Konsep shairûrah mengharuskan manusia untuk melakukan pengembangan dan perubahan masyarakat, sementara konsep sairûrah, sebagai proses gerak perubahan, memberikan peran kepada manusia untuk mempercepat dan memperlambat gerak perubahan tersebut.
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang memiliki dan menerapkan ketiga konsep filosofis tersebut sekaligus. Masyarakat yang menerapkan konsep shairûrah adalah masyarakat yang terus-menerus berubah menuju masyarakat yang maju dan lebih baik. Masyarakat yang hanya memiliki dua konsep; kainûnah dan sairûrah adalah masyarakat statis yang tidak memiliki tujuan, dalam masyarakat ini tidak ada perubahan sama sekali. Masyarakat yang statis dan tidak berubah hanya ada pada masyarakat setelah hari Kiamat tiba, masyarakat yang ada di surga dan neraka. Masyarakat yang ada di muka bumi ini harus memberlakukan ketiga konsep tersebut, sehingga masyarakat yang hanya menerapkan konsep kainûnah dan sairûrah saja adalah masyarakat yang menyalahi nature-nya.
Negara-negara Arab, menurut pandangan Syahrur adalah masyarakat statis yang hanya memiliki dan menerapkan dua konsep; kainûnah dan sairûrah. Konsep kainûnah secara faktual ada, karena masyarakat Arab memang ada dan konsep sairûrah juga ada, karena secara historis masyarakat Arab ada dan berproses seiring dengan zaman. Sementara yang menjadi pertanyaan adalah konsep shairûrah. Konsep ini tidak ada pada masyarakat Arab. Mereka tidak memiliki tujuan dalam hidup di dunia, sehingga mereka menjadi masyarakat yang lemah dan rendah. Mereka tidak melakukan perubahan pada masyarkatnya. Mereka tidak menciptakan hal-hal yang baru, tetapi hanya menghabiskan hasil-hasil dari perkembangan kebudayaan lain.

5. Contribution to Knowledge
Wacana pemikiran Syahrur ini merupakan wacana yang masih relatif baru di dunia Islam. Dalam pemikirannya Syahrur berusaha tidak terjebak sebagaimana kebanyakan Muslim di dunia, khsususnya Arab, kepada pemikiran yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. Usaha ini dilakukan Syahrur dengan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pisau analisis dalam memahami Islam, khususnya Alqur'an, karena dia yakin bahwa muslim yang hidup pada abad sekarang mempunyai perangkat metodologis yang lebih baik ketimbang ulama klasik dalam memahami Islam dan Alqur'an.
Pemikiran-pemikiran yang diusung Syahrur ini telah membuka cakrawala dan pemikiran baru di dunia Islam. Terobosan yang dia lakukan telah membawa secercah harapan setelah sekian lama dunia Islam dilanda kejumudan dalam pemikiran. Banyak para pemikir muslim maupun non-Muslim yang melakukan kritik dan otokritis terhadap pemikiran Islam yang lemah secara metodologis, namun sedikit di antara mereka yang menawarkan konsep-konsep metodologis dalam kajian keislaman, dan Muhammad Syahrur adalah termasuk yang sedikit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

'Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî'ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ (tt.: Maktabah al-Wahdah al-Arabiyyah al-Dâr al-Baydhâ', tth.), h. 20
Bassam Tibi, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change, (Penterjemah dari Bahasa German: Clare Krojzl), (Boulder, San Francisco, & Oxford: Westview Press, 1991), Cet. ke-2
Khiron Nahdliyin, "Pengantar Penerjemah" dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, Kritik Terhadap Ulumul Qura'an, (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. ke-2
Muhammad Syahrur, Nahw Ushûl al-Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi; Fiqh al-Mar'ah, (Damaskus: al-Ahâli li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî', 2000)
Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân; Qirâ'ah Mu'âshirah, (Damaskus: al-Ahâli li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî', 2000)
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=315
www.islamemansipatoris.com
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=315
www.wluml.org/english/ "The Sharur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syiria.